Henry Nouwen adalah seorang Pendeta yang pernah mengajar di Universitas
Harvard dan pada puncak kariernya dia meninggalkan Harvard dan merawat
seorang pria cacat. Pemuda yang dirawatnya bernama Adam berusia 25
tahun. Pemuda ini tidak bisa berbicara , tidak bisa berpakaian atau
membuka pakaiannya sendiri. Dia tidak bisa berjalan, tidak bisa makan
tanpa dibantu oleh orang lain. Ia tidak menangis atau tertawa. Hanya
kadang kadang saja ia melakukan kontak mata. Ia menderita epilepsy yang
parah dan sering kejang. Walaupun memakai banyak obat hanya bisa
bertahan beberapa hari saja tanpa mengalami kekejangan hebat. Kadang
kadang ia mendadak kaku dan mengeluarkan raungan melolong. Sesekali air
mata pemuda itu mengalir di pipinya. Nouwen mengatakan bahwa dia perlu
waktu satu setengah jam untuk membangunkan Adam, memberikan obatnya,
membawanya ke kamar mandi, membersihkan badannya, mencukurnya, menyikat
giginya, memakaikan pakaian, mengantarnya ke dapur, memberinya sarapan,
meletakkan dia di kursi roda dan membawanya ke tempat dimana ia
menghabiskan sebagian besar waktunya dengan latihan terapeutik.
Kita mungkin bertanya, untuk apa Henry Nouwen yang demikian pandai
menghabiskan waktunya yang demikian berharga untuk mengurus Adam yang
cacat. Lebih baik Henry Nouwen membayar seorang suster untuk merawat
Adam. Philip Yancey menanyakan pertanyaan ini kepada Henry Nouwen. Apa
jawaban Henry Nouwen? Dia mengatakan: bukan adam yang mendapatkan
keuntungan dari pelayanan saya, justru sayalah yang mendapatkan
keutungan itu. Pelayanannya untuk Adam memberikan kepadanya kedamaian
hati yang sangat penuh. Sebelumnya dia begitu berambisi dalam bidang
akademis, namun kini dia belajar sebuah pelajaran yang sangat berarti.
Pelajaran yang dia peroleh adalah : “apa yang membuat kita menjadi
manusia, bukanlah otak kita, tapi hati kita” Apa yang membuat kita
menjadi manusia bukanlah kemampuan kita berpikir melainkan kemampuan
kita mengasihi. Orang yang murah hatinya benar benar berbahagia. Ini
telah dialami oleh Henry Nouwen.